Sabtu, 08 April 2017

ANTROPOLOGI

                                                                                                           ANTROPOLOG


Add caption

                  antropologi merupakan satu-satunya disiplin ilmu sosial yang secara sistematik memerhatikan perbedaan antara pengetahuan emik dan etik.


Perbedaan antara emik dan etik itu analog dengan pembedaan antara fonemik dan fonetik; adalah ahli linguistik, seperti Kenneth L. Pike (1967), yang membangun istilah emik dan etik dari analogi tersebut. Secara sangat sederhana, emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji (native’s viewpoint)’ etik mengacu kepada pandangan si peneliti (scientist’s viewpoint). Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Konstruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dibangun dalam konteks dkema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas pengamat ilmiah.


Konsep emik dam etik itu menjadi objek diskusi semantik yang hampir sama hangatnya dengan diskusi tentang konsep kebudayaan. Para antropolog sibuk saling menyalahkan karena dianggap keliru menggunakan konsep emik dan etik itu.


Marvin Harris adalah salah satu pendukung utama bagi pembedaan amik/etik dalam kajian antropologi. Ia menawarkan suatu pemikiran yang berguna dalam membedakan pernyataan-pernyataan emik dan etik atas dasra epistemologi.


“Kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat informan native pada status penilai tertinggi bagi kecukupan deskripsi dan analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang dapat diterima native sebagai nyata, bermakna, atau sesuai … Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori dan konsep-konsep yang digunakan dalam deskripsi dan analisis.”


Sekalipun emik dan etik adalah konstruksi epistemologi, keduanya tidak ada kaitannya dengan metode penelitian, melainkan dengan struktur penelitian. Dengan kata lain, pengujian epistemologi kritis bukanlah bagaimana pengetahuan itu diperoleh, melainkan bagaimana pengetahuan itu divalidasi.


Pengetahuan etik divalidasi dengan cara yang analog. Agar suatu deskripsi atau analisis etik diakui sebagai etik, ia harus diterima oleh komunitas ilmiah sebagai pembahasan yang sesuai dan bermakna. Harris (1976:341) mencatat bahwa “tatkala deskripsi itu responsif terhadap kategori-kategori pengamat mengenai waktu, tempat, bobot dan ukuran, tipe-tipe pelaku, jumlah orang yang hadir, gerak tubuh, dan efek lingkungan, maka deskripsi itu etik.” Agar menjadi etik, istilah-istilah, kategori-kategori, konsep-konsep, dan satuan-satuan pengukuran haruslah tepat, jelas (tidak kabur), memiliki makna yang dikenal (dapat dikenal) dalam komunitas ilmiah.


Deskripsi dan eksplanasi antropologi adalah etik apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut:


    Deskripsi harus dianggap bermakna dan sesuai oleh komunitas yang luar pengamat ilmiah. Ini bukan sekedar kriteria konsensus. Melainkan berarti bahwa istilah dan konsep yang digunakan harus memenuhi gagasan-gagasan ilmiah menganai ketepatan, realibilitas, dan akurasi.

    Deskripsi harus divalidasi oleh pengamat secara independen. Ini berarti bahwa prosedur-prosedur yang digunakan dalam memformulasikan deskripsi  etik harus dapat direplikasi oleh pengamat bebas dan bahwa pengamat independen harus memperoleh hasil pengujian yang sama ketika berupaya memvalidasi deskripsi etik tersebut.

    Deskripsi harus memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan dalam memperoleh pengetahuan dan bukti ilmiah. Ini berarti bahwa deskripsi, analisis, dan eksplanasi harus dapat dibuktikan dan tidak boleh dipertentangkan dengan bukti-bukti lain yang ada. Semua bukti yang ada harus diperlakukan dalam formulasi deskripsi etik.

    Deskripsi harus dapat diterapkan secara lintas budaya. Hal ini perlu namun belum menjadi kondisi yang mencukupi bagi konstruksi etik. Ini berarti bahwa deskripsi etik itu tidak boleh tergantung pada acuan khusus, dengan kerangka lokal; deskripsi ini harus dapat digeneralisasi. Kriteria ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa ilmuan akan mempertimbangkan apakah konstruksi etik yang mereka bangun dan oengujian yang mereka lakukan untuk memvalidasi konstruksi-konstruksi tersebut barangkali tergantung pada asumsi-asumsi emik.

    Kajian-kajian dalam konteks teori tahap-tahap perkembangan yang dikutip disini semuanya mengilustrasikan bahaya yang bakalan menimpa ilmu-ilmu sosial yang gagal membedakan emik dan etik. Tak satu pun penulis memperhatikan bukti lebih dari melewatkan bagitu saja fakta bahwa berbagai kebudayaan membagi siklus kehidupan manusia berbeda-beda; semua tampaknya berasumsi bahwa “tahap-tahap perkembangan” yang fungsional dalam kebudayaan mereka sendiri sama untuk semua orang di semua tempat dan kapan pun. Tak satu pun ilmu sosial yang dapat mengabaikan pembedaan emik/etik dan mengklaim legitimasi bagi ekspkanasinya sendiri.


Emik dan Etik dalam Etnografi


           Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini peneliti) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.


           Antropolog berupaya menggabungkan faktor-faktor kedalam analisis “holistik”, termasuk biologi, ekologi, linguistik, sejarah, dan ideologi. Prespektif antropologi itu komparatif karena disiplin ini mencari informasi dan menguji eksplanasinya dikalangan semua kebudayaan prasejarah, sejarah, dan kontemporer terhadap kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si peneliti. Kontruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Kontruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas penganut ilmiah.

            Robert Lawless membahas istilah emik dan etik dalam kerangka model folk dan model analisis. Model folk adalah representasi stereotipikal, normatif, dan tidak kritikal dari realitas yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu kebudayaan. Dan model analisis adalah representasi profesional, eksplanatoris, dan komprehensif dari realitas yang diakui oleh komunitas ilmiah.

Emik dan etik tidak ada kaitannya dengan ontologi. Kejadian, situasi, hubungan dan fakta, tidak pernah terkait dengan emik maupun etik. Kejadian-kejadian dan entitas yang termasuk kedalam dunia empiris semata-mata hanya kejadian dan entitas. Suatu deskripsi, analisis, eksplanasi, atau klaim tertentu terhadap pengetahuan adalah emik atau etik haruslah didasarkan semata-mata pada dasar-dasar epistemologi.

            Marvin Haris membedakan pernyataan emik dan etik atas dasar epistemologi, yaitu” kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat informan native pada ststus penilai tertiggi bagi kecukupan deskripsi dan analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya menghasilkan pernyataan-pernyataan yangt daapat diterima native sebagai nyata, bermakna, atau sesuai.... Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori dan konsep-konsep yang digunaakan dalam deskripsi dan analisis”(1979:32).

Pembedaan antara data yang diperoleh atas dasar wawancara dan pengamatan saja tidak dengan sendirinya mencukupi untuk membangun status emik atau etik dari deskripsi dan analisis. Melainkan, deskripsi dan analisis tersebut harus diukur dengan menggunakan standar-standar lain yakni penilaian dari native untuk emik dan evaluasi dari antropologi untuk etik.

Deskripsi dan eksplanasi antropologi adalah etik apabila memenuhi hal-hal sebagai berikut :

1. Deskripsi harus bermakna sesuai dengan komunitas luas pengamat ilmiah.

2. Deskripsi harus divalidasi oleh pengamat secara independen

3. Deskripsi harus memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan dalam memperoleh pengetahuan dan bukti ilmiah.

4. Deskripsi harus dapat diterapkan secara lintas budaya.

5. Kajian-kajian dalam konteks teori tahap-tahap perkembangan yang mengilustrasikan bahaya    yang bakalan menimpa ilmu-ilmu sosial yang gagal membedakan emik dan etik.

Sebagai antropolog, klaim kita untuk mementingkan eksplanasi yang sahih dan dapat dipercaya terletak pada upaya kita untuk membangun pengetahuan etik. Meskipun mungkin bagi kita untuk mendeskripsikan, membahas, dan membandingkan baik ilmiah maupun tak ilmiah, baik dalam konsep emik maupun etik, eksplanasi ilmiah haruslah eksplanasi etik.

              Dengan menegakkan pengetahuan etik sebagai ideal, antropolog berpendirian bahwa pengetahuan antropologi itu harus mampu mengoreksi dirinya sendiri. Antropologi adalah pengetahuan obyektif mengenai kondisi manusia dibenarkan oleh upaya-upaya kita yang kumulatif dan berkesinambungan untuk menguji setiap klaim terhadap pengetahuan. Kita menganggap pengetahuan etik secara obyektif sahih, terutama karena kita memandang sebagai pengetahuan tentatif.

Ada dimensi manusia yang tak terhindarkan dalam kajian antropologi, karena antropologi dipraktikkan oleh antropolog, sebagai subbudaya yang memiliki ciri khusus, disiplin antropologi memiliki struktur pengorganisasian dan sistem nilai yang khas. Pengetahuan dan teori antropologi seharusnya tidak dievaluasi terpisah dari konteks itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Sosiologi Komunikasi

  BERBAGAI PERMASALAHAN SOSIAL YANG DIAKIBATKAN OLEH MEDIA MASSA Dosen Pengampu: Ria Rizkia Alvi, M...