ANTROPOLOG
 |
Add caption |
antropologi merupakan satu-satunya disiplin ilmu sosial yang
secara sistematik memerhatikan perbedaan antara pengetahuan emik dan etik.
Perbedaan antara emik dan etik itu analog dengan pembedaan
antara fonemik dan fonetik; adalah ahli linguistik, seperti Kenneth L. Pike
(1967), yang membangun istilah emik dan etik dari analogi tersebut. Secara
sangat sederhana, emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji
(native’s viewpoint)’ etik mengacu kepada pandangan si peneliti (scientist’s
viewpoint). Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam
konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan
dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis.
Konstruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dibangun dalam konteks dkema
dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas pengamat ilmiah.
Konsep emik dam etik itu menjadi objek diskusi semantik yang
hampir sama hangatnya dengan diskusi tentang konsep kebudayaan. Para antropolog
sibuk saling menyalahkan karena dianggap keliru menggunakan konsep emik dan
etik itu.
Marvin Harris adalah salah satu pendukung utama bagi
pembedaan amik/etik dalam kajian antropologi. Ia menawarkan suatu pemikiran
yang berguna dalam membedakan pernyataan-pernyataan emik dan etik atas dasra
epistemologi.
“Kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat
informan native pada status penilai tertinggi bagi kecukupan deskripsi dan
analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya
menghasilkan pernyataan-pernyataan yang dapat diterima native sebagai nyata,
bermakna, atau sesuai … Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala
mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori dan
konsep-konsep yang digunakan dalam deskripsi dan analisis.”
Sekalipun emik dan etik adalah konstruksi epistemologi,
keduanya tidak ada kaitannya dengan metode penelitian, melainkan dengan
struktur penelitian. Dengan kata lain, pengujian epistemologi kritis bukanlah
bagaimana pengetahuan itu diperoleh, melainkan bagaimana pengetahuan itu
divalidasi.
Pengetahuan etik divalidasi dengan cara yang analog. Agar
suatu deskripsi atau analisis etik diakui sebagai etik, ia harus diterima oleh
komunitas ilmiah sebagai pembahasan yang sesuai dan bermakna. Harris (1976:341)
mencatat bahwa “tatkala deskripsi itu responsif terhadap kategori-kategori
pengamat mengenai waktu, tempat, bobot dan ukuran, tipe-tipe pelaku, jumlah
orang yang hadir, gerak tubuh, dan efek lingkungan, maka deskripsi itu etik.”
Agar menjadi etik, istilah-istilah, kategori-kategori, konsep-konsep, dan
satuan-satuan pengukuran haruslah tepat, jelas (tidak kabur), memiliki makna
yang dikenal (dapat dikenal) dalam komunitas ilmiah.
Deskripsi dan eksplanasi antropologi adalah etik apabila
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
Deskripsi harus
dianggap bermakna dan sesuai oleh komunitas yang luar pengamat ilmiah. Ini
bukan sekedar kriteria konsensus. Melainkan berarti bahwa istilah dan konsep
yang digunakan harus memenuhi gagasan-gagasan ilmiah menganai ketepatan,
realibilitas, dan akurasi.
Deskripsi harus
divalidasi oleh pengamat secara independen. Ini berarti bahwa prosedur-prosedur
yang digunakan dalam memformulasikan deskripsi
etik harus dapat direplikasi oleh pengamat bebas dan bahwa pengamat
independen harus memperoleh hasil pengujian yang sama ketika berupaya
memvalidasi deskripsi etik tersebut.
Deskripsi harus
memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan dalam memperoleh pengetahuan dan
bukti ilmiah. Ini berarti bahwa deskripsi, analisis, dan eksplanasi harus dapat
dibuktikan dan tidak boleh dipertentangkan dengan bukti-bukti lain yang ada.
Semua bukti yang ada harus diperlakukan dalam formulasi deskripsi etik.
Deskripsi harus
dapat diterapkan secara lintas budaya. Hal ini perlu namun belum menjadi
kondisi yang mencukupi bagi konstruksi etik. Ini berarti bahwa deskripsi etik
itu tidak boleh tergantung pada acuan khusus, dengan kerangka lokal; deskripsi
ini harus dapat digeneralisasi. Kriteria ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa
ilmuan akan mempertimbangkan apakah konstruksi etik yang mereka bangun dan
oengujian yang mereka lakukan untuk memvalidasi konstruksi-konstruksi tersebut
barangkali tergantung pada asumsi-asumsi emik.
Kajian-kajian
dalam konteks teori tahap-tahap perkembangan yang dikutip disini semuanya
mengilustrasikan bahaya yang bakalan menimpa ilmu-ilmu sosial yang gagal
membedakan emik dan etik. Tak satu pun penulis memperhatikan bukti lebih dari
melewatkan bagitu saja fakta bahwa berbagai kebudayaan membagi siklus kehidupan
manusia berbeda-beda; semua tampaknya berasumsi bahwa “tahap-tahap
perkembangan” yang fungsional dalam kebudayaan mereka sendiri sama untuk semua
orang di semua tempat dan kapan pun. Tak satu pun ilmu sosial yang dapat
mengabaikan pembedaan emik/etik dan mengklaim legitimasi bagi ekspkanasinya
sendiri.
Emik dan Etik dalam Etnografi
Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi
yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, mencoba
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu
sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang
berjarak (dalam hal ini peneliti) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam
masyarakat.
Antropolog berupaya menggabungkan faktor-faktor kedalam
analisis “holistik”, termasuk biologi, ekologi, linguistik, sejarah, dan
ideologi. Prespektif antropologi itu komparatif karena disiplin ini mencari
informasi dan menguji eksplanasinya dikalangan semua kebudayaan prasejarah,
sejarah, dan kontemporer terhadap kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga
masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si peneliti.
Kontruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema
dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu
kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Kontruksi etik adalah
deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori
konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas penganut ilmiah.
Robert Lawless membahas istilah emik dan etik dalam kerangka
model folk dan model analisis. Model folk adalah representasi stereotipikal,
normatif, dan tidak kritikal dari realitas yang dimiliki bersama oleh para
anggota suatu kebudayaan. Dan model analisis adalah representasi profesional,
eksplanatoris, dan komprehensif dari realitas yang diakui oleh komunitas
ilmiah.
Emik dan etik tidak ada kaitannya dengan ontologi. Kejadian,
situasi, hubungan dan fakta, tidak pernah terkait dengan emik maupun etik.
Kejadian-kejadian dan entitas yang termasuk kedalam dunia empiris semata-mata
hanya kejadian dan entitas. Suatu deskripsi, analisis, eksplanasi, atau klaim
tertentu terhadap pengetahuan adalah emik atau etik haruslah didasarkan
semata-mata pada dasar-dasar epistemologi.
Marvin Haris membedakan pernyataan emik dan etik atas dasar
epistemologi, yaitu” kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat informan
native pada ststus penilai tertiggi bagi kecukupan deskripsi dan analisis
pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya
menghasilkan pernyataan-pernyataan yangt daapat diterima native sebagai nyata,
bermakna, atau sesuai.... Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala
mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori dan
konsep-konsep yang digunaakan dalam deskripsi dan analisis”(1979:32).
Pembedaan antara data yang diperoleh atas dasar wawancara
dan pengamatan saja tidak dengan sendirinya mencukupi untuk membangun status
emik atau etik dari deskripsi dan analisis. Melainkan, deskripsi dan analisis
tersebut harus diukur dengan menggunakan standar-standar lain yakni penilaian
dari native untuk emik dan evaluasi dari antropologi untuk etik.
Deskripsi dan eksplanasi antropologi adalah etik apabila
memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Deskripsi harus bermakna sesuai dengan komunitas luas
pengamat ilmiah.
2. Deskripsi harus divalidasi oleh pengamat secara independen
3. Deskripsi harus memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan
dalam memperoleh pengetahuan dan bukti ilmiah.
4. Deskripsi harus dapat diterapkan secara lintas budaya.
5. Kajian-kajian dalam konteks teori tahap-tahap
perkembangan yang mengilustrasikan bahaya yang bakalan menimpa ilmu-ilmu sosial
yang gagal membedakan emik dan etik.
Sebagai antropolog, klaim kita untuk mementingkan eksplanasi
yang sahih dan dapat dipercaya terletak pada upaya kita untuk membangun
pengetahuan etik. Meskipun mungkin bagi kita untuk mendeskripsikan, membahas,
dan membandingkan baik ilmiah maupun tak ilmiah, baik dalam konsep emik maupun
etik, eksplanasi ilmiah haruslah eksplanasi etik.
Dengan menegakkan pengetahuan etik sebagai ideal, antropolog
berpendirian bahwa pengetahuan antropologi itu harus mampu mengoreksi dirinya
sendiri. Antropologi adalah pengetahuan obyektif mengenai kondisi manusia
dibenarkan oleh upaya-upaya kita yang kumulatif dan berkesinambungan untuk
menguji setiap klaim terhadap pengetahuan. Kita menganggap pengetahuan etik
secara obyektif sahih, terutama karena kita memandang sebagai pengetahuan
tentatif.
Ada dimensi manusia yang tak terhindarkan dalam kajian
antropologi, karena antropologi dipraktikkan oleh antropolog, sebagai subbudaya
yang memiliki ciri khusus, disiplin antropologi memiliki struktur
pengorganisasian dan sistem nilai yang khas. Pengetahuan dan teori antropologi
seharusnya tidak dievaluasi terpisah dari konteks itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar